Dosen Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda Khojir (foto: Hab) Samarinda
Samarinda – Indonesia berdiri sebagai bangsa yang majemuk, dengan keragaman etnis, budaya, dan agama. Kemajemukan ini diikat oleh semangat Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini juga mengajarkan prinsip rahmatan lil ‘alamin, yang semestinya mendorong umat Muslim untuk menjadi teladan dalam perdamaian, keadilan, dan kasih sayang.
Namun, fakta sosial kerap menunjukkan kontradiksi: kekerasan, intoleransi, bahkan persekusi justru dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Fenomena inilah yang menjadi ironi sekaligus tantangan serius bagi bangsa Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan memberikan refleksi kritis terhadap fenomena kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia.
Pertama, tulisan ini ingin menegaskan bahwa kekerasan semacam itu sejatinya bertentangan dengan ajaran Islam yang hakikatnya rahmatan lil ‘alamin.
Kedua, tulisan ini berupaya menunjukkan relevansi hukum positif sebagai instrumen perlindungan kerukunan beragama, meski pasal tersebut kerap menjadi pedang bermata dua. Ketiga, tulisan ini bermaksud mengajak masyarakat, tokoh agama, dan negara untuk bersama-sama membangun budaya damai yang selaras dengan nilai Islam dan prinsip keadilan sosial di Indonesia. Dengan demikian, tulisan ini bukan sekadar kritik, tetapi juga tawaran solusi agar agama kembali menjadi sumber kedamaian, bukan alat justifikasi kekerasan.
Agama pada dasarnya hadir sebagai pedoman moral yang menuntun manusia menuju kehidupan yang damai. Islam, misalnya, secara etimologis berasal dari kata salam yang berarti kedamaian. Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang Muslim sejati adalah yang mampu menjaga lisan dan tangannya agar tidak menyakiti orang lain.
Dengan demikian, segala bentuk kekerasan yang berlindung di balik simbol agama sejatinya adalah pengkhianatan terhadap pesan ilahi. Namun, sejarah menunjukkan bahwa agama sering disalahgunakan sebagai legitimasi kekerasan. Tafsir sempit, fanatisme buta, dan kepentingan politik sering kali membelokkan ajaran agama dari fungsi aslinya.
Ketika simbol agama dipakai untuk memobilisasi massa, maka kekerasan dianggap sebagai “ibadah” atau “pembelaan iman.” Padahal, Islam sendiri menolak keras pemaksaan dalam urusan keyakinan sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]:256: “Tidak ada paksaan dalam agama.”
Konsep rahmatan lil ‘alamin menjadi inti dari risalah Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Al-Anbiya [21]:107: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” Rahmat di sini bukan hanya untuk Muslim, tetapi untuk seluruh umat manusia, bahkan seluruh makhluk hidup.
Dalam konteks ini, Islam seharusnya dipahami sebagai agama yang membawa kedamaian universal, bukan sekadar identitas eksklusif. Rahmat berarti kehadiran yang menenteramkan, melindungi, dan menyejahterakan. Karena itu, kekerasan yang mengatasnamakan Islam jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap misi profetik. Ketika seseorang mengebiri prinsip kasih sayang dan menggantinya dengan kebencian, maka yang terjadi bukanlah dakwah Islam, melainkan penyimpangan dari ajaran Islam itu sendiri.
Fenomena kekerasan atas nama agama bukan sekadar teori, tetapi realitas yang berulang di Indonesia. Kasus penyerangan rumah ibadah, pelarangan kegiatan keagamaan, persekusi terhadap kelompok minoritas, hingga ujaran kebencian bernuansa agama terus terjadi dari waktu ke waktu.
Ironisnya, pelaku kerap mengklaim bahwa tindakannya merupakan bentuk “membela agama.” Padahal, jika ditinjau secara teologis, Islam tidak pernah melegitimasi tindak kekerasan semacam itu. Rasulullah SAW ketika menghadapi kelompok berbeda keyakinan di Madinah justru membangun Mitsaq Madinah, sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama dan kerukunan sosial. Artinya, perbuatan intoleran yang melibatkan kekerasan tidak hanya bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga mengingkari teladan Rasulullah.
Untuk meredam potensi konflik berbasis agama, Indonesia memiliki perangkat hukum, salah satunya Pasal 156a KUHP yang mengatur tentang penodaan agama. Pasal ini bertujuan melindungi kerukunan beragama dengan menindak tegas mereka yang dengan sengaja menodai atau menyalahgunakan agama. Namun, dalam praktiknya, pasal ini sering menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia bisa menjadi instrumen untuk menjaga harmoni, melindungi umat dari penghinaan, dan mencegah eskalasi konflik. Di sisi lain, ketidakjelasan definisi “penodaan agama” sering menimbulkan multitafsir, sehingga pasal ini digunakan untuk membungkam perbedaan tafsir atau ekspresi keagamaan yang sah.
Lebih jauh, penegakan Pasal 156a kerap timpang. Mereka yang dianggap “menista agama” cepat diproses, tetapi pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama sering kali luput dari jerat hukum atau hanya mendapat sanksi ringan. Padahal, dalam perspektif Islam, pelaku kekerasan justru lebih jauh dari nilai-nilai agama dibanding orang yang sekadar berbeda tafsir.
Dalam khazanah Islam, keadilan (al-‘adl) merupakan nilai fundamental. Al-Qur’an memerintahkan: “Tegakkanlah keadilan, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau orang tuamu dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa [4]:135). Prinsip ini seharusnya menjadi dasar dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk dalam implementasi Pasal 156a KUHP.
Keadilan menuntut agar hukum tidak hanya melindungi mayoritas, tetapi juga memberi perlindungan kepada minoritas. Menutup mata terhadap kekerasan berbasis agama berarti menyalahi prinsip keadilan itu sendiri. Dalam perspektif Islam, membiarkan kezaliman berlangsung sama dengan bersekutu dalam dosa. Karena itu, negara harus hadir untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta memastikan bahwa agama tidak dijadikan legitimasi untuk menindas sesama.
Di era modern, tantangan kebebasan beragama semakin kompleks. Globalisasi dan digitalisasi membuat isu agama lebih cepat menyebar dan mudah memicu konflik. Dalam konteks ini, Pasal 156a masih relevan sebagai pagar hukum, tetapi harus direformulasi agar tidak disalahgunakan. Pertama, definisi penodaan agama perlu diperjelas untuk mencegah kriminalisasi tafsir keagamaan. Kedua, penegakan hukum harus konsisten, tidak hanya menyasar individu yang dituduh menista agama, tetapi juga tegas terhadap pelaku kekerasan berbasis agama.
Ketiga, Pasal 156a harus diletakkan dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, sehingga tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Dengan demikian, keberadaan pasal ini bisa benar-benar menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan dan kerukunan, bukan alat untuk memperkuat intoleransi.
Hukum saja tidak cukup untuk memberantas kekerasan mengatasnamakan agama. Dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah. Pendidikan toleransi harus diperkuat sejak dini, baik di sekolah maupun keluarga. Tokoh agama harus aktif menyuarakan dakwah damai, menegaskan bahwa Islam adalah rahmat, bukan ancaman.
Selain itu, ruang dialog antaragama perlu diperluas agar masyarakat tidak terjebak dalam prasangka. Media sosial juga harus dimanfaatkan sebagai sarana edukasi, bukan penyebar kebencian. Negara berperan sebagai fasilitator sekaligus penegak hukum, sementara masyarakat sipil menjadi motor penggerak budaya damai.
Kekerasan mengatasnamakan agama adalah ironi besar dalam kehidupan berbangsa. Islam yang mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam sering disalahgunakan menjadi tameng untuk kebencian dan kekerasan.
Padahal, Rasulullah SAW telah memberi teladan tentang toleransi, kasih sayang, dan penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks Indonesia, Pasal 156a KUHP masih diperlukan untuk menjaga kerukunan, tetapi implementasinya harus adil dan proporsional. Hukum harus tegas terhadap pelaku kekerasan, bukan hanya terhadap mereka yang dianggap menodai agama. Dengan demikian, semangat rahmatan lil ‘alamin bisa terwujud dalam realitas sosial, dan bangsa Indonesia mampu menjaga persatuan di tengah keberagaman.
Penulis: Dosen UINSI Samarinda, Khojir