Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah berbagi ilmu di UINSI Samarinda

 

SAMARINDA – Pengayaan keilmuan terus dilakukan Unversitas Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda melalui berbagai saluran ilmu, salah satunya dengan gelaran kuliah umum. Kali ini menghadirkan, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Abdul Mujib MAg MSi yang mengangkat tema “Pendidikan Islam dan Integrasi Keilmuan; Aktualisasi Penelitian”. Kuliah umum berlangsung di Kampus I UINSI Samarinda Jl Abul Hasan, diikuti mahasiswa pascasarjana S2 dan S3. Direktur Pascasarjana UINSI Samarinda Dr HM Tahir SAg, MM turut mendampingi Prof Mujib dalam perkuliahan yang dilaksanakan, Senin (26/12/2022).

 

Dalam paparannya, Mujib banyak memberikan motivasi kepada mahasiswa. “Jangan minder sebagai lulusan UIN. Artinya, kita harus punya kebanggaan sebagai lulusan UIN. Karena kita memiliki peran ganda, peran keilmuan dan keagamaan. Kalau kedua-dunyaitu berhasil diperoleh, maka kita punya peran luar biasa. Sehingga lulusan UIN harus pede berkompetesi di era bonus demografi, jangan terlena dalam zona aman,” ujarnya.

 

Apalagi dengan Kaltim ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, maka ia menganalogikan, “Kalau Jakarta sebagai Ibukota, maka UIN Jakarta-lah sebagai pusat peradaban dan ilmuan Islam, kira-kira begitulah. Kalau IKN-nya di sini, ya UINSI harus mengambil alih peran UIN Jakarta itu.” Hal ini yang menurutnya harus dipersiapkan dengan matang. “Bukan semata secara fisik, tapi non fisiknya yang paling penting. Karena alih peradaban itu ‘kan nggak gampang. Seluruh SDM (Sumber Daya Manusia) harus siap untuk menuju transformasi,” tegasnya.

 

Prof Najib juga berbicara tentang Era Revolusi Industri 4.0 menuju era 5.0. Menurutnya, 4.0 merupakan era Distruptive Innovation, yakni inovasi membuat produk atau layanan baru menggantikan ide bisnis lama, sehingga lebih terjangkau dan lebih mudah diakses masyarakat pada segmen tertentu atau niche market.

 

Dia menilai, ada masalah dengan era digital yakni, hilangnya sisi rasa kemanusian. Contoh dalam hal tradisional, seperti ketika memancing. “Ada kepuasan yang beda. Kebahagian luar biasa dalam menikmati sebuah proses dalam memancing mulai dari mendapatkan ikan, lalu memasak dan menikmati bersama. Beda dengan hanya membeli ikan di pasar. Jadi ada makna hidup yang hilang,” terangnya.

 

Sehingga ini berpengaruh besar pada indeks kebahagian. Karena dari data yang dirilis, terlihat Indeks kebahagian Indonesia pada 2021 justru mengalami penurunan, yakni berada pada peringkat 87, Jepang juga mengalami penurunan peringkat 54. “Bahkan, angka bunuh diri di Jepang masih lebih tinggi dari angka kematian covid-19 di negeri matahari terbit tersebut. Ini menunjukkan kekayaan yang dimiliki tak otomatis memberikan kebahagian,” bebernya. Namun terkait ruang yang hilang pada era 4.0 itu, menurutnya, dapat diisi oleh UIN melalui pendidikan yang humanis dan religius.

 

Prof Mujib juga mengupas tentang era generasi Z. Persoalan di generasi ini adalah tumpul dalam emosi hingga kurang punya kecerdasan emosional dan sosial, namun hal ini menurutnya seyogyanya dapat dipertajam melalui pendidikan berbasis agama. “Ini sesuai pemikiran Erich Fromm yang menyebut, revolusi industri bukan saja menggantikan energi hidup dengan mesin, tetapi pikiran atau perasaan manusia pun diganti dengan mesin,” ujar prof yang humoris ini. (*)

 

Sudah dilihat sebanyak 2,283 kali, Hari ini saja 4 kali