Maratua Jazz Dive Fiesta, senyum Deddy bertahan hingga akhir

Deddy Dhukun (kacamata hitam) bersama para penampil dan panitia Maratua Jazz Dive and Fiesta 2025. (Foto: MJDF)

Berau –  Penyanyi Deddy Dhukun tak menyangka lagu-lagunya tetap dihapal dan diingat setelah lebih dari 30 tahun. Pagi Senin, 30 Juni 2025, saat panggung dan tata lampu Maratua Jazz and Dive Fiesta mulai dibongkar, senyum masih terus mengembang di wajahnya. Tahun ini, penyanyi dengan nama asli Raden Deddy Agus Dewantoro itu memasuki usia 67 tahun pada 22 Juni lalu.

“Saya nggak nyangka penontonnya antusias dengan semua lagu-lagu saya. Dari lagu pertama sampai terakhir, mereka ikut nyanyi,” katanya sebelum naik ke speedboat untuk kembali ke Tanjung Redeb, Berau.

Sabtu malam, Deddy tampil tanpa banyak pengantar. Musik mengalun dengan “Hapus Air Mata”. Penonton ikut menyambut bait-baitnya, sebagian menyanyikan baris demi baris tanpa melihat teks. Begitu pula ketika hits sepanjang masa Deddy bersama Dian Pramana Putra, “Masih Ada”.

Lagu-lagu itu bukan sekadar hit. Ia tumbuh bersama generasi radio dan pita kaset. Deddy Dhukun memulai karier profesionalnya di akhir 1970-an, sebagai vokalis sekaligus pencipta lagu. Pada dekade berikutnya, namanya melejit lewat kolaborasi dengan Dian Pramana Poetra dalam duo 2D. Bersama, mereka melahirkan karya seperti “Keraguan”“Melayang”, dan “Satu Cinta Abadi” lagu-lagu pop yang sederhana secara struktur, tapi kuat secara daya simpan.

Di luar 2D, Deddy juga dikenal sebagai penulis lagu untuk banyak penyanyi besar pada masanya: Vina Panduwinata, Mus Mujiono, Fariz RM, hingga Utha Likumahuwa. Ia juga ikut membentuk kelompok vokal seperti Kelompok Tiga Suara dan sempat aktif sebagai produser musik pada era 90-an. Meski tak selalu berada di sorotan utama, kontribusinya menyebar lintas segmen industri musik.

Kini, setelah lebih dari tiga dekade, Deddy kembali hadir bukan sebagai tamu dari masa lalu, melainkan sebagai bagian dari suara yang selalu aktual untuk didengar. Malam di Maratua itu memperlihatkan satu hal: beberapa lagu bisa bertahan bukan karena tren, tapi karena ia jadi kunci untuk mengenang satu lini masa, apa pun memori yang ada di dalamnya.

Malam itu juga tidak ada pagar pembatas, tidak ada panggung tinggi yang memisahkan musisi dari penonton. Di bawah pohon sukun tua dan lampu warna-warni, penonton duduk di kursi plastik, di hamparan tikar, atau berdiri di pasir. Beberapa anak kecil bermain di pinggir area, sementara orang dewasa menyimak lagu-lagu yang mereka kenal sejak lama.

Sebagian besar penonton berasal dari Berau dan sekitarnya. Ada juga rombongan dari Samarinda, Balikpapan, dan beberapa turis asing yang terselip di antara warga lokal. Tidak semua datang untuk jazz beberapa hanya ingin menikmati malam di tepi laut, mendengar musik, dan makan jagung bakar dari stan UMKM yang berjajar di sisi kanan panggung.

Ketika “Masih Ada” dinyanyikan, suara penonton terdengar menyambung tanpa diminta. Tidak ada layar lirik, tidak ada aba-aba. Tapi lagu itu, seperti beberapa lainnya, sudah tinggal lama di kepala mereka. Beberapa penonton menyimak penuh perhatian sementara yang lain ikut bersenandung dengan mata berbinar.

Termasuk Wakil Bupati Berau H Gamalis. Sebagai ternyata fans berat, Gamalis sudah sampai di Maratua Sabtu siang. “Lagu-lagu Deddy mengingatkan saya pada masa sekian puluh tahun lalu,” kata Wakil Bupati yang menjalani masa remajanya antara paruh kedua 1970an hingga jelang tahun 90an di Tanjung Redeb, Berau, dan di Malang, Jawa Timur itu.

Maratua Jazz Dive and Fiesta juga membuat pengunjung melonjak, membuat penginapan di Pulau Maratua penuh sejak dua hari sebelum acara dimulai. Beberapa pengunjung yang datang tanpa reservasi terpaksa mencari alternatif, seperti menumpang di rumah warga, baik di Teluk Harapan, Payung-payung, Bohe Silian, atau Teluk Alulu.

Di Dermaga Wisata Sanggam di Tanjung Redeb, antrean penumpang menuju Maratua terbentuk sejak Jumat pagi. Kapal reguler yang biasanya membawa para wisatawan penyelam kali ini dipenuhi rombongan keluarga, komunitas musik, dan pelancong. Tiket speedboat reguler habis dalam waktu singkat, membuat sebagian yang benar-benar ingin segera sampai ke Maratua memilih menyewa perahu cepat itu dari warga.

Penerbangan perintis dari Bandara Kalimarau ke Bandara Maratua juga mengalami lonjakan. Jadwal tambahan dari maskapai seperti Susi Air tetap tidak mencukupi permintaan. Beberapa penumpang memilih rute memutar lewat Tarakan atau menunggu slot ulang keberangkatan berikutnya.

Maratua Jazz Dive and Fiesta digawangi panitia terdiri personel Yayasan Berau Lestari, relawan kampung wisata, dan komunitas musik, dan Pemkab Berau.

Menurut Agus Basuni, satu penggagas acara ini, selama acara, selain penginapan yang penuh, warung dan kafe pun mengalami lonjakan omset hingga 300 persen.

Namun Agus juga mengungkapkan, “Persiapan paling besar bukan panggung, tapi soal transportasi dan penginapan.” Untunglah, dari situ juga dimaklumi bahwa pesta musik ini diselengarakan di pulau terluar Indonesia, bukan di pusat kota yang lengkap dan serba tersedia.”

Sebagian besar panitia menginap di tenda atau tinggal sementara di rumah penduduk. Beberapa masih terlihat membereskan sisa logistik hingga pagi hari usai penutupan. Tidak ada laporan insiden besar sepanjang tiga hari acara berlangsung, tidak ada keributan, tidak ada kehilangan barang, dan tidak ada interupsi dari cuaca. Maratua Jazz Dive and Fiesta menyisakan jejak kursi, panggung kecil, dan potongan lagu yang masih terngiang di kepala, “… masih ada cinta yang membara. (Nov)

Loading

Share on whatsapp
Share on telegram
Share on twitter
Share on facebook
Share on pinterest
Share on print

Solverwp- WordPress Theme and Plugin